FIQIH MUNAKAHAT
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fiqih Ibadah
Dosen
Pengampu : Puspo Nugroho,M.Pd.I
Disusun Oleh :
Kelompok 09
Dewi Luthfiatul M : 1410110022
Siti
Musdalifah : 1410110029
Mariya
Ulfa : 1410110032
Melisa
Maryam : 1410110038
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH A-PAI
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
berkenan melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya dengan baik dan lancar. Makalah
ini kami susun untuk menyelesaikan tugas dan guna mengkuti perkuliahan
selanjutnya tahun pelajaran 2015.Makalah ini mengenalkan tentang kajian-kajian
mengenai aliran Salaf.
Makalah
ini dapat kami selesaikan dengan baik dan lancar berkat bantuan dan bimbingan
berbagai pihak.Oleh karena itu, kami sangat berterima kasih khususnya kepada
Allah SWT yang memperlancar tugas makalah kami, selain itu kami juga berterima
kasih kepada semua pihak yang ikut membantu.Untuk teman-teman senasib
seperjuangan yang telah bersama-sama melaksanakan tugas mulia ini, baik dalam
keadaan suka maupun duka.
Semoga
segala bantuan yang telah diberikan kepada kami diterima oleh Allah SWT sebagai
amal sholeh dan mendapatkan pahala
berlimpah dari-Nya.
Kami
sadar, makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan masukan
perbaikan sangat kami harapkan untuk menyempurnakan tugas-tugas serupa pada
masa yang akan datang. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.Amin.
Kudus,
7 Mei 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya hukum islam sudah mengatur tentang
pernikahan sesuai dengan ketentuan syari’at islam. secara garis besar hukum
islam terbagi menjadi dua yitu fiqih ibadah dan fiqih muamalat. dalam fiqih
ibadah meliputi aturan tentang shalat,puasa,zakat,haji,nazar dan sebagainya
yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya.
sedangkan fiqih muamalah ini mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya
seperti perikatan,sanksi hukum dan aturan lain agar terwujud ketertiban dan
keadilan baik secara perorangan maupun kemasyarakatan.
Dalam ilmu fiqih membahas tentang pernikahan. yang
dimaksud dengan nikah menurut bahasa berasal dari bahasa arab yaitu nakaha
yankihu nikahan yang berarti kawin. dalam istilah nikah adalah ikatan suami
istri yang sah menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami
istri. dalam hukum kekeluargaan harus disertai dengan kuat agama yang
disyariatkan islam. beberapa hukum tersebut dapat dipelajari dalam al-qur’an
dan as-sunnah.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya
dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan
keturunannya, melainkan antara dua keluarga. faedah terbesar pernikahan ialah
untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan
sebab seorang perempuan apabila ia sudah menikah maka biaya hidupnya wajib
ditanggung oleh suaminya. demikianlah maksud pernikahan sejati dalam islam.
selanjutnya akan dibahas dibab pembahasan.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang
diatas sebagai berikut :
1.
Apa pengertian dari peminangan ?
2.
Apa penegertian dari nikah?
3.
Bagaimana Hukum Pernikahan?
4.
Apa syarat dan rukun Nikah?
5.
Apa Hikmah pernikahan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Peminangan
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari
seseorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan
seorang yang dipercayai. meminang dengan cara diperbolehkan dalam islam
terhadap gadis atau janda yang telah habis iddahnya kecuali perempuan yang
masih dalam iddah ba’in.[1]sebaiknya
dengan jalan sindiran saja, seperti firman Allah Swt:
وَلاَجُنَاحَ عَليكُم فِيمَا عَرَضْتُم بِه مِنْ خِطْبَةِ
النِّسآءِ(البقرة :235)
Artinya
:” Dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu dengan sindiran” (Al-Baqarah :235)
Meminang atau khitbah adalah permintaan seoang laki-laki
kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya,dengan cara-cara tertentu yang
sudah umum berlaku dimasyarakat setempat. Meminang termasuk usaha pendahuluan
dalam rangka pernikahan. Allah menggariskan agar masing-masing pasangan yang
mau menikah, lebih dulu saling mengenal sebelum melakukan akad nikah, sehingga
pelaksanaan pernikahan benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.
Namun perlu diperhatikan, bahwa peminangan belum menimbulkan akibat hukum,
sehingga laki-laki maupun wanita dapat memutuskan peminangan.
Adapun wanita yang boleh dipinang sebagai
berikut :
1.
pada waktu dipinang tidak ada halangan hukum
yang melarang dilangsungkannya pernikahan.
2.
belum dipinang orang lain secara sah
apabila terdapathalangan hukum maka tidak boleh dipinang,
misalnya si wanita karena sesuatu hal haram dinikahi selamanya atau sementara
atau telah dipinang lebih dulu oleh orang lain.
Adapun wanita yang tidak boleh dipinang yaitu
:
1.
wanita bekas istri orang lain yang sedang
dalam masa iddah
2.
wanita pinangan orang lain. [2]
Meminang atau khitbah
merupakan langkah-langkah pendahuluan menjelang perkawinan. Allah ta’ala telah
mensyari’atkan khitbah sebelum hubungan perkawinan dimulai, yakni sebelum
diadakan akad nikah, dengan maksud agar kedua belah pihak saling kenal mengenal
terlebih dahulu, sehingga perkawinan yang akan mereka tempuh betul-betul
didasarkan pada saling pengertian dan keterusterangan.
Wali berkewajiban
memilih calon suami untuk anak gadisnya. Ia tidak boleh mengawinkan anaknya itu
kecuali dengan laki-laki yang beragama dan berakhlak baik, sehingga dapat
berumah tangga dengan anak tersebut dengan baik tanpa menganiayanya.
Petnah Hasan bin ‘Ali ditanya seseorang,
katanya: ‘Sesungguhnya saya ini mempunyai seorang anak gadis, dengan siapakah
sebaiknya ia saya kawinkan menurut tuan?”
“Kawinkanlah
dengan laki-laki yang bertaqwa kepada Allah,” jawab Hasan.“Kalau laki-laki itu
mencintai anakmu, ia akan memulaikannya, dan kalau tidak cinta pun tak kan
menganiaya dia.”
Wanita Manakah Yang Boleh Dipinang?
Wanita yang boleh
dipinang hanyalah wanita yang telah memenuhi syarat sebagai berikut:
Pertama,Tidak
ada halangan Syar’i yang menyebabkan laki-laki dilarang memperisterikannya saat
itu.Kedua,Tidak ada laki-laki lain yang telah
lebih dahulu meminangya secara sah.
Jadi kalau ada
halangan Syar’i, umpamanya wanita itu memang tak boleh dikawin (Muharramah), baik
untuk sementara atau selama-lamanya, atau sudah ada laki-laki lain yang
meminangnya lebih dulu, maka wanita itu tak boleh dipinang.
B.
Pengertian Pernikahan
Nikah menurut bahasa
berasal dari kata nakaha yankihu nikahan yang berarti kawin. dalam istilah
nikah berarti ikatan suami istri yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan hak
serta kewajiban bagi suami isteri.[3] Dalam buku fiqih wanita yang dimaksud Nikah
atau perkawinan adalah Sunnatullah pada hamba-hamba-Nya. Dengan perkawinan
Allah menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan.
Sunnatullah
yang berupa perkawinan ini tidak hanya berlaku dikalangan manusia saja, tapi
juga didunia binatang. Allah Ta’ala
berfirman:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan
kebersamaan Allah.”
Namun demikian, Allah SWT tidak menghendaki perkembangan dunia
berjalan sekehendaknya.Oleh sebab itu diatur-Nya lah naluri apapun yang ada
pada manusia dan dibuatkan untuknya prinsip-prinsip dan undang-undang, sehingga
kemanusiaan manusia tetap utuh, bahkan semakin baik, suci dan
bersih.Demikianlah, bahwa segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia sebenarnya
tak pernah terlepasdari didikan Allah.
Menurut pengertian sebagian
fukaha, perkawinan ialah aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau ziwaj atau semakna keduanya.
Pengertian ini dibuat hanya melihat dari satu segi saja ialah kebolehan hukum,
dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang
menjadi dibolehkan. Perkawinan mengandung aspek akibat hukum melangsungkan
perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan
hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena perkawinan termasuk
pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan/maksud
mengharapkan keridhaan Allah SWT. Perkawinan ialah suatu aqad atau perikatan
untuk menghasilkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang meliputi rasa ketenteraman serta
kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT. [4]
C. Hukum Nikah
1. Jaiz, (diperbolehkan) ini asal hukumnya
2. sunnat, bagi orang yang berkehendak serta
mampu memberi nafkah
3. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah
dan dia takut akan tergoda pada kejahatan (zina)
4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi
nafkah
5. Haram, bagi orang yang berniat kan menyakiti
perempuan yang dinikahinya.[5]
Bagi orang yang
telah mampu kawin, beristeri itu wajib hukumnya.Karena dengan beristeri itu
hati lebih terpelihara dan lebih bersih dari desakan nafsu. Al-Qurthubi
mengatakan: “Bagi orang yang mampu kawin, sedang dia khawatir dirinya
terjerumus kedalam dosa sehingga agamanya tidak terpelihara akibat membujang,
yang rasanyahal itu hanya bisa disembuhkan dengan perkawinan, maka tak ada
perbedaan pendapat mengenai wajibnya perkawinan dalam keadaan seperti ini.
D. Rukun dan Syarat Nikah
1.
Rukun
perkawinan
a. Dua orang yang saling melakukan aqad perkawinan, yaitu mempelai laki-laki
dan mempelai perempuan.
b. Adanya wali.
c. Adanya 2 orang saksi
d. Dilakukan dengan shighat(akad) tertentu. sighat (akad) yaitu perkataan dari
pihak perempuan seperti kata wali. tidak sah nikah kecuali dengan lafadz nikah.
2. Syarat dua mempelai
Adapun syarat dua mempunyai ialah :
a.
Syarat pengantin pria
Syari'at islam menentukan
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para
ulama, ialah:
1) Calon suami beragama islam.
2) Terang bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3) Orangnya diketahui dan tertentu.
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon
istrinya halal baginya.
6) Calon suami ridha (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
7) Tidak sedang melakukan ihram.
8) Tidak mempunyai istri
yang haram dimadu dengan calon istri.
9) Tidak sedang mempunyai
istri empat.
b.
Syarat calon pengantin perempuan
Syari'at islam menentukan
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para
ulama, ialah:
1) Calon suami beragama islam.
2) Terang bahwa ia wanita, bukan Khuntsa.
3) Wanita itu tertentu orangnya.
4) Halal bagi calon suami.
5) Wanita tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam 'iddah.
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar.
7) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
c. Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan
oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau
wakilnya.
Wali hendaklah seorang
lelaki, muslim, baligh, berakal dan adil, artinya tidak fasik. Karena itu
perkawinan tanpa wali dianggap tidak sah. Hal ini dilandaskan pada hadits Nabi
SAW.:
لا
نكاح إلا بولى.(رواه
الخمسة إلا أنسائى)
"Tidak ada perkawinan tanpa wali."
(HR. Al Khomsah kecuali An Nasaiy)
Hanafi
Tidak mensyaratkan
wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah baligh dan berakal, boleh
mengawinkan dirinya sendiri, tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi, sedang Malik berpendapat,
wali adalah syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan, bukan untuk
mengawinkan perempuan awam. [6]
Wali
dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad nikah oleh karena itu, tidak
semua orang dapat diterima menjadi saksi atau wali.tetapi hendaklah orang-orang
yang memiliki beberapa sifat sebagai berikut :
1.
Islam. orang yang tidak beragama islam tidak sah
menjdi wali atau saksi.
2.
Balig. (sudah berumur 15 tahun)
3.
Berakal
4.
Merdeka
5.
Laki-laki
6.
Adil
Yangdianggap sah menjadi wali mempelai perempuan ialah
menurut susunan yang akan diuraikan dibawah ini :
a.
Bapaknya
b.
Kakeknya
(bapak dari bapak mempelai perempuan)
c.
Saudara
laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
d.
Saudara
laki-laki yang sebapak saja dengannya.
e.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
f.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
g.
Saudara
bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)
h.
Anak
laki-laki pamanya dari pihak bapaknya
i.
Hakim[7]
d. Syarat-syarat saksi
Saksi
yang menghadiri akad nikah
haruslah dua orang, lelaki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar
serta mengerti (faham) akan maksud akad nikah. Tetapi menurut Hanafi dan
Hambali, boleh juga saksi itu lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut
Hanafi, boleh dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil).
Selanjutnya
orang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi saksi.Sebagian
besar ulama berpendapat saksi merupakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu
perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat
Syafi'i, Hanafi dan Hambali.
Bersifat
adil
Menurut
imam Hanafi untuk menjadi saksi dalam perkawinan tidak di syaratkan harus orang
yang adil, jadi perkawinan yang di saksikan oleh dua orang fasik hukumnya sah.
Golongan Syafi’I
berpendapat saksi itu harus orang yang adil, sebagaimana tersebut dalam hadis
:’’ Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil’’. Menurut mereka
ini bila perkawinan di saksikan oleh dua orang yang belum di kenal adil
tidaknya, maka ada dua pendapat tetapi menurut Syafi’I kawin dengan saksi-saksi yang belum di kenal
adil tidaknya, hukumnya sah.
Perempuan Menjadi Saksi
Golongan Syafi’I dan
Hambali mensyaratkan saksi haruslah laki-laki.Akad nikah dengan saksi seorang
laki-laki dan dua perempuan, tidak sah, tetapi golongan Hanafi tidak
mengharuskan syarat ini.Mereka berpendapat bahwa kesaksian dua orang laki-laki
atau seorang laki-laki dan dua perempuan sudah sah.
Harus Orang Merdeka
Abu Hanifah dan Syafi’I
mensyaratkan orang yang menjadi saksi harus orang-orang yang merdeka, tetapi
Ahmad juga mengharuskan syarat ini.Dia berpendapat akad nikah yang di saksikan
dua orang budak, hukumnya sah sebagaimana sahnya kesaksian mereka dalam
masalah-masalah lain, dan karena dalam al Qur’an maupun hadist tidak ada
keterangan yang menolak seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur
serta amanah, kesaksiannya tidak boleh di tolak.
Harus Orang Islam
Para ahli fiqih berbeda
pendapat tentang syarat-syarat menjadi saksi dalam perkawinan bilamana
pasangannya terdiri dari laki-laki dan perempuan muslim,apakah saksinya harus
beragama islam? juga mereka berbeda pendapat jika yang laki-lakinya beragama
islam, apakah yang menjadi saksi boleh orang yang bukan islam? Menurut Ahmad,
Syafi’I dan Muhammad bin Al-Hasan perkawinannya tidak sah, jika saksi-saksinya
bukan islam, karena yang kawin adalah orang islam, sedang kesaksian bukan orang
islam terhadap orang islam tidak dapat di terima.
Tetapi Abu Hanifah dan
Abi Yusuf berpendapat bila perkawinan itu antara laki-laki muslim dan perempuan
ahli Kitab maka kesaksian dua orang Ahli Kitab boleh di terima. Dan pendapat
ini di ikuti oleh undang-undang perkawinan mesir.
e.
Syarat-syarat
ijab qabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab kabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan
'aqad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah
perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak
wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedang kabul dilakukan oleh mempelai
laki-laki atau wakilnya.
Menurut pendapat Hanafi, boleh juga ijab
oleh pihak mempelai lelaki atau wakilnya dan kabul dan pihak perempuan (wali
atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal, dan boleh
sebaliknya.
Ijab dan kabul merupakan
syarat perkawinan
Ijab kabul ini dilakukan di dalam
satu majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan kabul yang
merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan kabul
dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan
kabul asal masih di dalam satu majelis dan tiada hal-hal yang menunjukkan salah
satu pihak berpaling dari maksud akad itu.
Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah
lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab
kalimat-kalimat itu terdapat di dalam Sunnah dan Kitabullah. Demikian
Asy-Syafi'i dan Hambali. Sedang Hanafi membolehkan dengan kalimat lain yang
tidak dari Al-Qur'an, misalnya menggunakan majaz yang biasa digunakan dalam
bahasa sastra atau biasa yang artinya perkawinan.
Akad nikah itu wajib
dihindari oleh dua orang saksi lelaki, muslim, baligh, berakal, melihat (tidak
buta), mendengar (tidak tuli) dan mengerti tentang maksud akad nikah, dan juga
adil. Saksi merupakan syarat sah perkawinan.
Menurut Hanafi dan Hambali saksi itu boleh seorang lelaki dan boleh orang
perempuan, sedang menurut Hanafi boleh saksi itu dua orang buta atau dua orang
fasik (tidak adil). [8]
untuk terjadinya akad yang
mempunyai akibat-akibat hokum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1.
Kedua belah pihak harus tamyiz
Bila salah satu
pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz ( membedakan benar dan salah),
maka pernikahannya tidak sah.
2.
Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika
mengucapkan ijab qobul tidak boleh di selingi dengan kata-kata lain, atau
menurut adat di anggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan
qobul.
Tetapi dalam
ijab dan qobul tak ada syarat harus langsung.Bilamana majlisnya berjalan lama
dan antara ijab dan qobul ada tenggang waktu, tetapi tanpa menghalangi upacara
ijab qobul, maka di anggap satu majlis.Sama dengan ini pendapat golongan hanafi
dan hambali.
Dalam kitab mughni disebutkan: bila
ada tenggang waktu antara ijab qobul, maka hukumnya tetap sah, selagi dalam
satu majlis juga tidak di selingi sesuatu yang mengganggu. Karena di pandang
satu majlis selama terjadinya upacara akad nikah, dengan alasan sama dengan penerimaan
tunai bagi barang yang di syaratkan di terima tunai, sedangkan bagi barang yang
tidak di syaratkan tunai penerimaannya, barulah disana di benarkannya hak
khiyar ( tetap jadi membeli atau membatalkan).
Bilamana
sebelum di lakukan qobul telah berpisah, maka ijabnya batal.Karena makna ijab
disini telah hilang.Sebab, menghalangi bisa dilakukan oleh pihak laki-laki
dengan jalan berpisah diri, sehingga dengan demikian tidak terlaksana
qobulnya.Begitu pula kalau kedua-duanya sibuk dengan sesuatu yang mengakibatkan
terputusnya ijab qobul, maka ijabnya batal lantaran upacara qobulnya jadi
terhalang.
Sedangkan golongan syafi’I
mensyaratkan cara tersebut boleh asal segera.
Mereka ( ahli
fiqih) berkata bilamana ijab qabul di selingi oleh khutbah si wali, umpamanya:
bismillah, Alhamdulillah, washshalatu wassalamu’ala rasulillah, aku terima akad
nikahnya. Dalam hal ini ada dua pendapat.
Pertama: syaich
Abu Hamid Asfara Yini berpendapat sah. Karena khutbah dan akad nikah di
perintahkan agama.Dan perbuatan ini tidak merupakan halangan sahnya akad nikah,
seperti halnya orang yang bertayamum antara dua shalat yang di jama’.
Kedua: tidak
sah, sebab memisahkan acara ijab qabul , sebagaimana halnya kalau antara ijab
qabul itu di pisahkan oleh hal-hal lain di luar khutbah. Dalam hal ini berbeda
dengan hokum tayamum di antara dua shalat yang di jama’ itu memang ada di
perintahkan agama, sedangkan khutbah nikah di perintahkan sebelum ijab qabul.
3.
Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan
ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan
pernyataan persetujuannya lebih tegas. Jika pengijab mengatakan: aku kawinkan
kamu dengan anak perempuanku anu, dengan mahar Rp 100 umpamanya, lalu qabul
menyebut : aku menerima nikahnya dengan
Rp 200 maka nikahnya sah, sebab qabulnya memuat hal yang lebih baik ( lebih
tinggi nilainya) dari yang di nyatakan pengijab.[9]
Kata-kata dalam
ijab dan qabul
Di dalam melakukan ijab qabul haruslah di
pergunakan kata-kata yang dapat di pahami oleh masing-masing pihak yang
melakukan akad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah
pihakuntuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang samara tau kabur.
Jika kata-kata dalam ijab dan qabul dapat
dig anti dengan kata-kata kiasan, maka sahlah hukumnya, seperti halnya dengan
menyatakan cerai dengan kata-kata kiasan.
Ijab qabul
Bukan dengan Bahasa Arab
Para ahli fiqih sependapat, ijab qabul
boleh dilakukan dengan bahasa selain arab, asalkan memang pihak-pihak yang
berakat baik semua atau salah satunya tidak tahu bahasa arab. Mereka berbeda
pendapat bagaimana bila kedua belah pihak paham pahasa arab dan bisa
melaksanakan ijab qbulnya dengan bahasa ini.
Ibnu Qudamah
dalam kitab mughni mengatakan bagi orang yang mampu mempergunakan bahasa Arab
dan ijab qabulnya, tidak sah menggunakan selain bahasa arab. Demikian salah
satu pendapat dari imam syafi’i.menurut imam Abu Hanifah boleh, sebab ia telah
menggunakan kata-kata tertentu yang di gunakan ijab qobul sebagaimana juga
dalam bahasa Arab
Ijab qabulnya
Orang Bisu
Ijab qabul orang bisu sah dengan
isyaratnya, bilamana dapat di mengerti, sebagaimana halnya akad jual belinya yang
sah dengan jalan isyaratnya, karena isyarat itu mempunyai makna yang dapat di
mengerti. Tetapi kalau salah satu pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab
qabulnya tidak sah,sebab yang melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang
yang bersangkutan itu saja.
Ijab Qabulnya
Orang yang Gaib (Tidak Hadir)
Bilamana salah seorang dari pasangan
pengantin tidak ada tetapi tetap mau melanjutkan aqad nikahnya, maka wajiblah
ia mengirim wakilnya atau menulis surat kepada pihak lainnya meminta di akadnikahkan,
dan pihak yang lain ini jika memang mau menerima hendaklah ia menghadirkan para
saksi dan membacakan isi suratnya kepada mereka atau menunjukkan wakilnya
kepada mereka dan mempersaksikan kepada mereka di dalam majlisnya bahwa akad
nikahnya telah di terimanya. Dengan demikian qabulnya di anggap masih dalam
satu majlis.[10]
E. Hikmah Nikah
Islam
menganjurkan
menikah.itu merupakan kabar gembira, sebagaimana dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
karena nikah berpengaruh besar (secara positif) baik bagi pelakunya, masyarakat
maupun seluruh umat manusia. jadi,
banyak sekali hikmah yang terkandung dalam nikah, baik ditinjau aspek
sosial,psikologi, maupun kesehatan. adapun hikmah pernikhan sebagai berikut :
1.
Menyalurkan
Naluri seks
Naluri
seks merupakan naluri terkuat yang selamanya menuntut jlan keluar. orang yang
tidak bisa mencarikan jalan keluar untuk memuaskannya, serin mengalami
goncangan dan kekacauuan bahkan tidak jarang seseorang melakukan kejahatan
karenanya menikah merupakan jalan keluar yang paling aman untuk menyalurkan
naluri seks.
2.
Jalan
mendapatkan keturunan yang sah
Nikah
merupakan jalan terbaik untuk mendapatkan keturunan mulia (terhormat). melalui
pernikahan, keturunan menjadi banyak, kehidupan menjadi lestari, dan keturunan
terpelihara sehingga kelangsungan hidup suatu negara atau bangsa dapat
terwujud.
3.
Penyaluran
naluri kebapakan dan keibuan
Mereka
yang telah menikah dan memperoleh anak, naluri kebapakan dan naluri keibuan
akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup kekeluargaan. ini akan
menimbulkan perasaan ramh, saling mencintai, dan saling menyayangi antara satu
dengan anggota keluarga lainnya.
Orang
telah menikah dan memperoleh anak akan terdorong menunaikan tanggung jawab dan
kewajibannya dengan baik sehingga dia akan bekerja keras untuk melaksanakan
kewajibannya.
5.
Pengaturan
hak dan kewajiban dalam rumah tangga
Melalui
perkawinan akan timbul hak dan kewajiban suami isteri secara seimbang, juga
adanya pembagian tugas antara suami istri dalam hubungannya dengan pengembangan
generasi yang baik dimasa mendatang. [11]
6.
Membuahkan
tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cintaantar keluarga dan
memperkuat hubungan kemasyarakatan.
7.
Pembagian
tugas dan tanggung jawab suami istri dengan adil.[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam islam dianjurkan untuk Menikah. sebelum melaksanakan
pernikahan harus memulai dengan pinangan. yang dimaksud meminang atau khitbah
adalah permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk
menikahinya,baik dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun oleh pihak
yang dipercayainya sesuai dengan aturan agama.yang dimaksud dengan nikah adalah
akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta
tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan
mahram.
Adapun Rukun nikah sebagai berikut:
1. sighat (akad)
2. wali (wali si perempuan)
3. Dua orang saksi
4. calaon pengantin
Adapun syarat wali dan dua orang saksi yaitu :
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Adil
Adapun Hikmah nikah yaitu
1. Menyalurkan naluri seks
2. Jalan mendapatkan keturunan yang sah
3. Penyaluran naluri kebapakan dan keibuan
4. Dorongan untuk bekerja keras
5. Pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah
tangga
DAFTAR PUSTAKA
Darajdat,Zakiah.Ilmu Fiqih.Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf.
Na’im,Abdul Haris.Fiqih Munakahat. Kudus:Stain Kudus.
Rasjid, Sulaiman.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algesindo.
Supiana-Karman Muhammad.Materi Pendidikan Agama Islam.Bandung:PT
Remaja Rosdakarya
Sabiq,sayyid,fiqih sunnah 6.Bandung:PT
Alma’arif,1980
[1]Rasjid, Sulaiman.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algesindo.Hal 380
[2]Na’im,Abdul Haris.Fiqih Munakahat. Kudus:Stain Kudus.Hal 31-35
[3]Na’im,Abdul Haris.Fiqih Munakahat.Kudus:Stain Kudus.Hal 17
[4]Darajdat,Zakiah.Ilmu Fiqih.Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf. Hal 37
[5]Rasjid, Sulaiman.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algesindo.Hal 381-382
[6]Darajdat,Zakiah.Ilmu Fiqih.Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf. Hal 77
[7]Rasjid, Sulaiman.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algesindo.Hal 383-384
[8]Darajdat,Zakiah.Ilmu Fiqih.Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf. Hal 82
[9]
Sabiq,sayyid.1980.Fiqih Sunnah 6.Bandung:PT Alma’arif.Hal 53-59
[10]
Sabiq,sayyid.1980.Fiqih Sunnah 6.Bandung:PT Alma’arif.Hal 90-92
[11]Supiana-Karman Muhammad.Materi Pendidikan Agama Islam.Bandung:PT
Remaja Rosdakarya. Hal 129-130
[12]Na’im,Abdul Haris.Fiqih Munakahat. Kudus:Stain Kudus.Hal 26.