Jumat, 20 November 2015

puisi ibu



SANDARAN HATIKU
oleh : Mariya Ulfa 
Malam ini bintang tak jauh dari bulan
Angin yang berhembus perlahan
Merenungkan jiwa yang tulus
Menuntunku kejalan kebahagiaan
Oh ibu….
Kau sandaran hatiku
Disetiap helai nafasku
Kumengagungkanmu
Inginku mencium kakimu
Oh ibu…
Kau bersedia mendengar dan meraba
Keluh kesahku setiap hari
Memberikan aku cinta
Memberikan aku kasih
Kini ku mulai sadar
Betapa berharganya dirimu
Tanpamu ibu 
aku bagaikan burung yang kehilangan sayap
Karna tak ada lagi sandaranmu

puisi ayah



SERPIHAN HATI YANG KUCINTAI
oleh : Mariya Ulfa (cidami falalifa faulfa) 
Sore senja berhembus nafas
Nada langkah menyusuri bumi
Kudengar tetes keringatmu
Membuatku menjatuhkan air mata
Ayah….
Kau bagaikan serpihan hati dalam ragaku
Inginku satukan bersama anganmu
Inginku selalu genggam tanganmu
Agar aku bahagia selalu bersamamu
Ayah…
Disetiap doamu tersimpan harapan
Untuk aku putrimu
Kini kuberjanji untuk segala kebaikanmu
Kan kuraih semua impianku
Agar kau tersenyum bahagia karenaku
Serpihan hati yang kucintai
Inginku menghabiskan waktu bersamamu
Agar kubisa melihat dan menyentuhmu 
Sedetikpun tak ingin ku pergi darimu

Minggu, 15 November 2015

MAKALAH USHUL FIQIH MAHKUM FIH



MAHKUM FIH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. H. Sholikul Hadi, M.Ag
PAI-A Semester Ganjil
 









Disusun Oleh :
Kelompok  8
Muhammad Milchan             (1410110005)
Anik Sulaikhah                      (1410110021)
Wafirotul Zulfa                     (1410110026)
Mariya Ulfa                           (1410110032)




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PAI/A)
TAHUN AKADEMIK 2015/2016


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver) adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-Quran itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatNya.
Harus kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selalu berhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri seorang muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis selama muslim itu masih eksis. Oleh karena itu, muslim perlu mempelajari dan memahami masalah-masalah tentang hukum syar’i.
Sebelum kita mempelajari banyak ilmu tentang fiqih, setidaknya kita mempelajari bagaimana hukum-hukum fiqih menurut syara’ terlebih dahulu. Setiap hukum-hukum syar’i itu tidak dapat bersangkutan dengan salah satu perbuatan mukallaf dari segi tuntutan, menyuruh pilih atau menempatkan. Dari suatu ketetapan dikatakan bahwa yang berarti itu tidak lain dari dengan perbuatan. Artinya hukum syar’i itu tidak  bersangkut selain perbuatan mukallaf.  

B.   Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas sebagai berikut :
1.      Apa pengertian Mahkum fih?
2.      Apa saja syarat-syarat mahkum fih?
3.      Apa saja macam-macam mahkum fih?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mahkum Fih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul fiqih menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakna istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat perintah maupun yang dilarang.
Dalam kajian Ushul Fiqih, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah:
هُوَ الفِعْلُ المُكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقُ بِهِ حُكْمُ الشَّارِعِ
Suatu perbuatan mukallaf yang bertalian atau berkaitan dengan hukum syara’[1]
Menurut ulama Ushul Fiqih, yang dimaksudkan dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasulnya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, sah serta batal.
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terdapat perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum.
Misalnya perbuatan manusia yang mukallaf berhubungan dan berkaitan dengan aturan agama Islam, antara lain:

1.       Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah:43
وَاَقِيْمُوا الصًلوةَ { البقرة:43}
Artinya: “dirikanlah  shalat...” ( QS Al-Baqarag:43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang  mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan sholat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan sholat.
2.    Firman Allah SWT. Dalam surat Al-An’am:13
وَلاَ نَقْتُلُوا النًفْسَ الًتِىْ حَرًمَ الله اِلاً بِلْحَقِّ..... { الأنعام: 151}
Artinya: “ janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan  allah melainkan dengan suatu (sebab) yang benar...” (QS.Al-An’am:151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkaitdengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa haq, maka pembunuhan tanpa haq itu hukumnya haram.
3.      Rasulullah SAW. Bersabda:
لاَيَرِثُ الْقَاتِلُ { رواه ابوداود ومالك واحمد بن حنبل}
Artinya: “pembunuh tidak mewarisi.” ( HR. Abu Dawud, Imam Malik, dan Ahmad Ibn Hanbal).
Dari hadist tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab seseorang tidak mendapat harta warisan adalah pembunuhan. Dengan demikian, pembunuhan itu merupakan perbuatan mukallaf yang menjadi penghalangn (mani) untuk menerima waris.
4.      Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah mahkum fih sebab bertalian dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
5.      Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak melaksanakan puasa pada bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau orang musafir, maka masalah itu adalah mahkum fih yang bertalian dengan masalah ibadah.
Firman Allah Swt:
ã`tBur……. tb$Ÿ2 $³ÒƒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 3 ……..
Artinya:
“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah:185)
Berdasarkan dalil diatas, maka berbuka pada siang hari bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan adalah mubah.[2]
Dengan uraian-uraian diatas, jelaslah bahwa apabila diperhatikan semua perbuatan manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara’. Berarti semua perbuatan manusia yang mukallaf erat kaitannya dengan hukum syara’. Jadi perbuatan manusia yang berkaitan dengan hukum syara’ itulah dinamakan mahkum fih dalam hukum Islam.

B.     Syarat Mahkum Fih
Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf, dalam melaksanakannya diperlukan beberapa syarat :
a.       Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau mustahil melaksanakan itu ada suatu yang memang tak dapat dilakukan, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlaawanan, yakni yang dzatnya daripada pekerjaan itu tidak ada , dan mustahil menurut adat yaitu perbuatan-perbuatan itu sendiri mungkin terwujud tetapi mukallaf tak sanggup melaksanakannya.
b.      Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama’ berpendapat, bahwa boleh ditaklifkan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya abu lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.
c.       Pekerjaan yang sukar sekali dilakukan. Diantara pekerjaan itu ada yang masuk dibawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilakasanakan. Pekerjaan yang sukar itu ada dua macam:
1)      Yang kesukarannnya itu luarbiasa dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilakanakan.
2)      Yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan, hanya terasa lebih berat daripada yang biasa.
d.      Pekerjan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaraan yang luar biasa. Pekerjaan yang demikian adakalanya hasil dari sebab dan ikhtiar mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu sendiri menghendaki kesukaran dan adakalanya juga bukan krena kehendak mukallaf dan ikhtiyarnya. [3]

Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :
1.      Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuan dapat ditangkap dengan jelas dan sempurna sebagaimana ia dituntut.
     Maka berdasarkan hal tersebut, nash-nash al-Qur’an yang sifatnya masih mujmal, yakni yang belum dijelaskan maksudnya, tidak sah mentaklifkannya kepada mukallaf, kecuali sesudah Rasulullaah SAW menjelaskan nash-nash al-Qur’an yang masih global tadi. Misalnya firman Allah SWT :
" وَاَقِيْمُ الصَّلَاةَ "
Artinya : “...dan dirikanlah shalat..”
     Nash al-Qur’an tersebut masih mujmal, belum dijelaskan rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan tatacara pelaksanaannya. Bagaimanakah orang yang tidak mengetahui rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan tatacara pelaksanaannya di taklif untuk mengerjakan shalat? Oleh karena itulah, maka Rasulullah SAW menjelaskan kemujmalan nash tersebut, sekaligus memberikan contoh sebagaimana sabdanya :
" صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِى اُصَلِّىْ "
Artinya : “lakukan shalat sebagaimana kamu melihatku shalat”.
     Begitu pula perintah-perintah syara’ lainnya, seperti zakat, puasa, dan sebgainya.[4]  Tuntutan untuk melaksanakannya tidak sah sebelum diketahui syarat-syarat, rukun, waktu dan sebagainya.[5] Oleh karena itulah, maka Allah SWT memberikan otoritas penjelasan melalui rasulnya, sebagaimana FirmanNya:
 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ  
Artinya : “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).
     Rasulullah SAW menjelaskan apa yang mujmal dalam Al-Qur’an melalui sunnahnya baik yang berupa qauliyah, maupun fi’liyah.[6]
2.      Mukallaf harus mengetahui sumber takiif.
     Seseorang harus mengetahui bahwa pentaklifan itu datang dari orang yang mempunyai otoritas untuk memberikan taklif yaitu Allah SWT. Sehingga dengan pengetahuan itu ia dapat melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata.
     Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf  tentang apa yang dituntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan kemampuan melaksanakannya. Oleh karena itu ketika seseorang telah dinyatakan baligh dalam keadaan berakal dan diperkirakan mampu mengetahui hukum-hukum syara’, baik dengan cara mempelajari melalui akalnya sendiri atau dengan cara bertanya kepada para ulama’, maka sudah bisa dinyatakan bahwa ia mengetahui dan menanggung beban syari’at, serta tidaklah diterima suatu alasan karena kebodohan atau ketidak-tahuaannya. Sesuai dengan pendapat para fuqaha: “tidaklah diterima di dunia Islam udzur (halangan) yang disebabkan oleh kebodohan.
     Dan diantara sebab adanya pernyataan tentang “dimungkinkan mengetahui hukum”, itu karena apabila disyaratkan seorang mukallaf harus mengetaahui tuntutan yang dibebankan kepadanya, maka perbuatan yang harus dilakukan itu tidak akan terwujud. Dan akan banyak sekali manusia yang berhalangan karena tidak mengetahui hukum syara’.[7]
                 Jadi, setiap hukum syara’ yang mukallaf mungkin mengetahui dalilnya, dan mengetahui bahwa dalilnya adalah hujjah syar’iyah, maka mukallaf wajib mengikuti apa yang diambil dari dalil itu. Baik pengambilannya melalui akal pikirannya sendiri atau melalui perantara, semisal bertanya kepada orang yang mengetahuinya.[8]
3.      Perbuatan yang ditaklifkan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
Berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat, antara lain :
Pertama : tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau ditinggalkan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama, baik berdasarkan zatnya ataupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Contoh yang mustahil berdasarkan zatnya sendiri adalah berkumpulnya antara perintah dan larangan dalam suatu tuntutan dan dalam waktu yang bersamaan.
                           Sedang contoh kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya adalah sesuatu yang bisa digambarkan dengan akal, akan tetapi secara adat kebiasaan hal tersebut tidak mungkin dilakukan, misalnya menyuruh manusia terbang tanpa menggunakan alat, atau mengangkat gunung, dan lain-lain.
                     Diantara dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama adalah :
Adanya firman Allah SWT:
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 .....ÇËÑÏÈ
Artinya : "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. "(Q.S. al-Baqarah: 286)
Kalau tuntutan yang mustahil itu dianggap sah maka harus dilaksanakan. Padahal tidak mungkin berkumpul antara suatu kemustahilan dengan adanya perbuatan. Selain itu, apabila tuntutan dinyatakan dengan sesuatu yang mustahi, maka berarti perintah Allah itu tidaklah berguna. Dan hal itu tidaklah mungkin.
                     Kedua : Para ulama ushul fiqih menyatakan tidak sah hukumnya seseorang  melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas orang lain. Oleh karena itu, seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat untuk menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan bapaknya. Dengan kata lain, bahwa seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Hal yang mungkin dilakukan adalah mensehati dan amar ma’ruf nahi mungkar.
                           Hadits-hadits yang menyatakan demikian antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas,  tidak boleh shalat seseorang untuk orang lain, begitu pula tidak boleh berpuasa untuk orang lain”. Dan Aisyah berkata, “ janganlah kamu shalat untuk menggantikan orang yang telah mati, namun beri makanlah kepada mereka (pahalanya). Kecuali haji yang dibolehkan oleh Imam Malik. Golongan Asy’ari berpendapat bahwa dibolehkannya menggantikan kewajiban orang lain yang berhubungan dengan badan adalah berlawanan dengan golongan mu’tazilah, seperti dibolehkannya melaksanakan haji untuk orang lain. Bahkan golongan Syafi’i, al-Auja’i, dan Hambali membolehkan wali menggantikan puasa untuk orang yang sudah meninggal.  Diantara alasan mereka adalah:
وَ مَنْ مَا تَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Artinya: “siapa yang meninggalkan dunia dan ia berutang puasa, maka walinya berkewajiban mengerjakan puasa itu. (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad Ibn Hanbal).
Ketiga : tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, dan sebagainya, karena hal itu diluar kendali manusia.[9]
                 Misalnya sabda Nabi SAW:
اَحِبُّوْا اللهَ لِمَا اُسْدِيَ عَلَيْكُمْ مِنْ نِعَمِهِ
Artinya : “Cintailah Allah karena berbagai kenikmatan yang diberikannya kepadamu”
Lahiriah hadits tersebut adalah pentaklifkan cinta, akan tetapi hakekatnya adalah pentaklifan untuk memikirkan pada kenikmatan-kenikmatan yang diberikan Allah kepada kamu sehingga kamu senantiasa ingat dan bersyukur kepada Allah.[10]

Dari uraian diatas munkin tergambar bahwa taklif itu hanya berlaku terhadap apa yang dapat dikerjakan manusia dan tidak akan menimbulkan kesulitan. Namun semua perbuatan yang dibebankan syara’ selalu menimbulkan kesulitan, sedang arti taklif itu sendiri mengandung arti kesulitan atau biasa disebut Masyaqqah.[11] Masyaqqah ada dua macam :
1. Masyaqqah mu’tadah
      Masyaqqah mu’tadah adalah, kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya pada dirinya. Kesulitan yang seperti ini tiidak bisa dijadikan alasan untuk  tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak akan terlepas dari kesulitan dalam melaksanakannya. Bahkan definisi taklif sendiri adalah permintaan untuk merealisasikan sesuatu yang didalamnya terdapat kesulitan. Namun hal ini bukan berarti tujuan syar’i itu mengatasi kesulitan. Tujuan utama syari’at adalah kemaslahatan dan ketertiban.[12]
      Pengharusan mukallaf untuk memikul kesulitan-kesulitan dalam batas kemampuannya adalah dalam rangka mencapai kemaslahatan yang timbul daripadanya. Seperti seorang dokter yang mengharuskan orang sakit meminum obat yang pahit, karena kesembuhannya yang akan timbul dari memakan obat tersebut. Jadi ia menanggung kepahitannya adalah dalam rangka kesembuhannya dari penyakitnya.
      Shalat, zakat, puasa, dan segala yang diperintahkan dan dilarang kepada mukallaf adalah mengandung kesulitan dan keberatan, akan tetapi hal tersebut merupakan kesulitan yang dapat dipikul dan dalam batas-batas kemampuan. Hal itu merupakan sarana untuk mencapai suatu kemaslahatan yang harus ditempuhnya untuk kelangsungan hidupnya. [13]
2.      Masyaqqah ghairu mu’tadah
      Masyaqqah ghairu mu’tadah adalah suatu kesulitan atau kesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya, bila dipaksakan.[14] Misalnya, melakukan puasa wishal, shalat semalam suntuk, puasa sambil berdiri dibawah sinar matahari. Kesulitan-kesulitan yang seperti itu bukan termasuk taklif syara’, karena syara’ selalu berusaha menyingkirkan manusia dari kesulitan seperti bolehnya berbuka bagi orang yang sakit dan musafir, dibolehkannya tayammum sebagai ganti wudhu bagi yang sakit dan tidak menemukan air. Diboehkannya memakan makanan yang diharamkan ketika dalam keadaan darurat, dan sebagainya. Semua ini memberikan kelonggaran.[15]
Alasan yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih dalam hal ini adalah:
a.       Ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang menghilangkan kesulitan dan kesempitan dalam syara’. Seperti :
Firman Allah pada surat al-Hajj : 78
$tBur..... Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4 .... ÇÐÑÈ  
Artinya : “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. “(QS. Al-Hajj : 78).
Firman Allah pada surat an-Nisa : 28
߃̍ムª!$# br& y#Ïeÿsƒä öNä3Ytã 4 t,Î=äzur ß`»|¡RM}$# $ZÿÏè|Ê ÇËÑÈ  
Artinya :  “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[286], dan manusia dijadikan bersifat lemah.”(QS. an-Nisa : 28).
Firman Allah pada surat al-Baqarah : 185
...3 ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# ...ÇÊÑÎÈ  
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS.  al-Baqarah : 185).

C.    Macam–Macam Mahkum Fih
Para ulama’ usul fiqih membagi mahkum fih dari dua segi yaitu:
Dari segi keberadaan secara material dan syara’, mahkum fih terdiri dari:
1.      Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang berkait dengan syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf tetapi perbuatan itu tidak terkait demgan hukum syara’.
2.      Perbuatan yang  secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishash.
3.      Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
4.      Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta  mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli dan sewa menyewa.
Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, yaitu:
1.      Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Hak sifatnya semata-mata Allah ini, menurut Ulama’ Ushul Fiqih ada delapan macam:
a.       Ibadah mahdlah (murni), seperti iman dan rukun.
b.      Ibadah yang didalamnya mengandung makna pemberian dan santunan, seperti zakat fitrah.
c.       Bantuan/satuan yang mengandug makna ibadah, seperti zakat hasil yang dikeluarkan dari bumi.
d.      Biaya/ satuan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e.       Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana seperti hukuman berbuat zina.
f.       Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi waris, karena ia membunuh pemilik harta tersebut.
g.      Hak-hak yang harus dibayarkan, kewajiban mengelurakan seperlima harta terpemdam dan harta rampasan perang.
2.      Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta yang rusak.
3.      Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan. Seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf
4.      Kompromi antara hak Allah dam hak hamba, tetap hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishash. [16]





















BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i. Adapun syarat mahkum fih yaitu Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan  sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat misalnya, sebelumnya  dia tahu persis rukun, syarat, dan  cara-cara shalat tersebut.Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari allah SWT, sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah allah semata. sebenarnya, hal itu sama dengan hukum yang berlaku yang positif, yakni tidak ada keharusan untuk mengerjakannya suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan. Adapun macam-macam mahkum fih terbagi menjadi dua segi yaitu keberadaan secara material dan syara’dan dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu.














DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
Uman, Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia.
Khallaf, Syekh Abdulwahab. 1990. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Muchtar, Kamal dkk. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.




                [1]Nazar  Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Hlm. 166.
[2] Chaerul Uman, dkk, Ushul Fiqih, Hlm. 329-330.
[3] Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh, Hlm. 38-40. 
[4] Syekh Abdulwahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 189.
[5] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Hlm. 320.
[6] Syekh Abdulwahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 189-190.
[7] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Hlm. 320-321.
[8] Syekh Abdulwahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 191.
[9] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Hlm.  321-323.
[10] Syekh Abdulwahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 193.
[11] Syafi’i karim, Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001, Hlm: 138-139.
[12] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Hlm. 327.
[13] Syekh Abdulwahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 195.
[14]Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Hlm. 327.
[15] Syafi’i karim, Fiqih Ushul Fiqih, Hlm. 139.
[16] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hlm. 331-332.