MAHKUM FIH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. H. Sholikul Hadi, M.Ag
PAI-A Semester Ganjil
Disusun Oleh :
Kelompok 8
Muhammad Milchan (1410110005)
Anik Sulaikhah (1410110021)
Wafirotul Zulfa (1410110026)
Mariya Ulfa (1410110032)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PAI/A)
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak
Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat
hukum (lawgiver) adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam
kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa
Al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama
fiqih. Al-Quran itu membimbing dan
memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian
ayat-ayatNya.
Harus kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selalu berhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu
melekat pada diri seorang muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis selama
muslim itu masih eksis. Oleh karena itu, muslim perlu mempelajari dan memahami
masalah-masalah tentang hukum syar’i.
Sebelum kita mempelajari banyak ilmu tentang fiqih, setidaknya kita
mempelajari bagaimana hukum-hukum fiqih menurut syara’ terlebih dahulu. Setiap
hukum-hukum syar’i itu tidak dapat bersangkutan dengan salah satu perbuatan
mukallaf dari segi tuntutan, menyuruh pilih atau menempatkan. Dari suatu
ketetapan dikatakan bahwa yang berarti itu tidak lain dari dengan perbuatan.
Artinya hukum syar’i itu tidak
bersangkut selain perbuatan mukallaf.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas sebagai berikut :
1. Apa pengertian Mahkum fih?
2. Apa saja syarat-syarat
mahkum fih?
3. Apa saja macam-macam
mahkum fih?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahkum Fih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama
ushul fiqih menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau
peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian
ulama lainnya menggunakna istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu
bisa disifati dengan hukum, baik bersifat perintah maupun yang dilarang.
Dalam kajian
Ushul Fiqih, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah:
هُوَ الفِعْلُ المُكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقُ
بِهِ حُكْمُ الشَّارِعِ
Suatu perbuatan
mukallaf yang bertalian atau berkaitan dengan hukum syara’
Menurut ulama Ushul Fiqih, yang dimaksudkan dengan mahkum fih adalah objek
hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah
dan Rasulnya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu
pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, sah serta batal.
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya,
yakni perbuatan mukallaf. Dan terdapat perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan
suatu hukum.
Misalnya perbuatan manusia yang mukallaf
berhubungan dan berkaitan dengan aturan agama Islam, antara lain:
1. Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah:43
وَاَقِيْمُوا الصًلوةَ { البقرة:43}
Artinya: “dirikanlah
shalat...” ( QS Al-Baqarag:43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan
sholat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan sholat.
2. Firman Allah SWT. Dalam surat Al-An’am:13
وَلاَ نَقْتُلُوا النًفْسَ الًتِىْ حَرًمَ الله
اِلاً بِلْحَقِّ..... { الأنعام: 151}
Artinya: “ janganlah kamu membunuh jiwa yang telah
diharamkan allah melainkan dengan suatu
(sebab) yang benar...” (QS.Al-An’am:151)
Dalam
ayat ini terkandung suatu larangan yang terkaitdengan perbuatan orang mukallaf,
yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa haq, maka pembunuhan tanpa haq itu
hukumnya haram.
3.
Rasulullah SAW. Bersabda:
لاَيَرِثُ الْقَاتِلُ { رواه ابوداود ومالك واحمد بن حنبل}
Artinya: “pembunuh tidak mewarisi.” ( HR. Abu Dawud, Imam
Malik, dan Ahmad Ibn Hanbal).
Dari hadist tersebut dapat diketahui bahwa salah satu
penyebab seseorang tidak mendapat harta warisan adalah pembunuhan. Dengan
demikian, pembunuhan itu merupakan perbuatan mukallaf yang menjadi penghalangn
(mani) untuk menerima waris.
4.
Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf,
adalah mahkum fih sebab bertalian dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
5. Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak
melaksanakan puasa pada bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau orang
musafir, maka masalah itu adalah mahkum fih yang bertalian dengan masalah
ibadah.
Firman Allah Swt:
ã`tBur……. tb$2 $³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3 ……..
Artinya:
“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah:185)
Berdasarkan dalil diatas, maka berbuka pada siang hari
bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan adalah mubah.
Dengan uraian-uraian diatas, jelaslah bahwa
apabila diperhatikan semua perbuatan manusia itu ada
hubungannya dengan hukum syara’. Berarti semua perbuatan manusia yang mukallaf erat kaitannya dengan
hukum syara’. Jadi perbuatan manusia yang berkaitan dengan hukum syara’ itulah
dinamakan mahkum fih dalam hukum Islam.
B. Syarat Mahkum Fih
Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai
hukumnya. Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf, dalam melaksanakannya
diperlukan beberapa syarat :
a.
Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan
oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau mustahil
melaksanakan itu ada suatu yang memang tak dapat dilakukan, seperti
mengumpulkan antara dua hal yang berlaawanan, yakni yang dzatnya daripada
pekerjaan itu tidak ada , dan mustahil menurut adat yaitu perbuatan-perbuatan
itu sendiri mungkin terwujud tetapi mukallaf tak sanggup melaksanakannya.
b. Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah
dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama’
berpendapat, bahwa boleh ditaklifkan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah
tidak akan terjadi, seperti jauhnya abu lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat
dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.
c. Pekerjaan yang sukar sekali dilakukan. Diantara
pekerjaan itu ada yang masuk dibawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar
sekali dilakasanakan. Pekerjaan yang sukar itu ada dua macam:
1) Yang kesukarannnya itu luarbiasa dalam arti sangat memberatkan bila
perbuatan itu dilakanakan.
2) Yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan, hanya
terasa lebih berat daripada yang biasa.
d. Pekerjan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab
timbulnya kesukaraan yang luar biasa. Pekerjaan yang demikian adakalanya hasil
dari sebab dan ikhtiar mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu sendiri
menghendaki kesukaran dan adakalanya juga bukan krena kehendak mukallaf dan
ikhtiyarnya.
Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif
(pembebanan hukum), yaitu :
1. Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuan
dapat ditangkap dengan jelas dan sempurna sebagaimana ia dituntut.
Maka
berdasarkan hal tersebut, nash-nash al-Qur’an yang sifatnya masih mujmal, yakni
yang belum dijelaskan maksudnya, tidak sah mentaklifkannya kepada mukallaf,
kecuali sesudah Rasulullaah SAW menjelaskan nash-nash al-Qur’an yang masih
global tadi. Misalnya firman Allah SWT :
" وَاَقِيْمُ
الصَّلَاةَ "
Artinya : “...dan dirikanlah shalat..”
Nash al-Qur’an
tersebut masih mujmal, belum dijelaskan rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya,
dan tatacara pelaksanaannya. Bagaimanakah orang yang tidak mengetahui
rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan tatacara pelaksanaannya di taklif
untuk mengerjakan shalat? Oleh karena itulah, maka Rasulullah SAW menjelaskan
kemujmalan nash tersebut, sekaligus memberikan contoh sebagaimana sabdanya :
" صَلُّوْا كَمَا
رَاَيْتُمُوْنِى اُصَلِّىْ "
Artinya : “lakukan shalat sebagaimana kamu
melihatku shalat”.
Begitu pula
perintah-perintah syara’ lainnya, seperti zakat, puasa, dan sebgainya. Tuntutan untuk melaksanakannya tidak sah
sebelum diketahui syarat-syarat, rukun, waktu dan sebagainya.
Oleh karena itulah, maka Allah SWT memberikan otoritas penjelasan melalui
rasulnya, sebagaimana FirmanNya:
3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Artinya : “keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).
Rasulullah SAW
menjelaskan apa yang mujmal dalam Al-Qur’an melalui sunnahnya baik yang berupa
qauliyah, maupun fi’liyah.
2. Mukallaf harus mengetahui sumber takiif.
Seseorang harus
mengetahui bahwa pentaklifan itu datang dari orang yang mempunyai otoritas
untuk memberikan taklif yaitu Allah SWT. Sehingga dengan pengetahuan itu ia
dapat melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah
Allah semata.
Adapun yang
dimaksud dengan pengetahuan mukallaf
tentang apa yang dituntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui
perbuatan bukan kemampuan melaksanakannya. Oleh karena itu ketika seseorang
telah dinyatakan baligh dalam keadaan berakal dan diperkirakan mampu mengetahui
hukum-hukum syara’, baik dengan cara mempelajari melalui akalnya sendiri atau
dengan cara bertanya kepada para ulama’, maka sudah bisa dinyatakan bahwa ia
mengetahui dan menanggung beban syari’at, serta tidaklah diterima suatu alasan
karena kebodohan atau ketidak-tahuaannya. Sesuai dengan pendapat para fuqaha:
“tidaklah diterima di dunia Islam udzur (halangan) yang disebabkan oleh
kebodohan.
Dan diantara
sebab adanya pernyataan tentang “dimungkinkan mengetahui hukum”, itu karena
apabila disyaratkan seorang mukallaf harus mengetaahui tuntutan yang dibebankan
kepadanya, maka perbuatan yang harus dilakukan itu tidak akan terwujud. Dan
akan banyak sekali manusia yang berhalangan karena tidak mengetahui hukum
syara’.
Jadi,
setiap hukum syara’ yang mukallaf mungkin mengetahui dalilnya, dan mengetahui
bahwa dalilnya adalah hujjah syar’iyah, maka mukallaf wajib mengikuti apa yang
diambil dari dalil itu. Baik pengambilannya melalui akal pikirannya sendiri
atau melalui perantara, semisal bertanya kepada orang yang mengetahuinya.
3. Perbuatan yang ditaklifkan harus mungkin untuk dilaksanakan atau
ditinggalkan.
Berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat,
antara lain :
Pertama : tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil
untuk dikerjakan atau ditinggalkan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama, baik
berdasarkan zatnya ataupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Contoh
yang mustahil berdasarkan zatnya sendiri adalah berkumpulnya antara perintah
dan larangan dalam suatu tuntutan dan dalam waktu yang bersamaan.
Sedang
contoh kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya adalah sesuatu yang bisa
digambarkan dengan akal, akan tetapi secara adat kebiasaan hal tersebut tidak
mungkin dilakukan, misalnya menyuruh manusia terbang tanpa menggunakan alat,
atau mengangkat gunung, dan lain-lain.
Diantara dalil
yang dikemukakan oleh jumhur ulama adalah :
Adanya firman Allah SWT:
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 .....ÇËÑÏÈ
Artinya : "Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya. "(Q.S. al-Baqarah: 286)
Kalau tuntutan yang mustahil itu dianggap sah
maka harus dilaksanakan. Padahal tidak mungkin berkumpul antara suatu
kemustahilan dengan adanya perbuatan. Selain itu, apabila tuntutan dinyatakan
dengan sesuatu yang mustahi, maka berarti perintah Allah itu tidaklah berguna.
Dan hal itu tidaklah mungkin.
Kedua : Para
ulama ushul fiqih menyatakan tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk
dan atas orang lain. Oleh karena itu, seseorang tidak dibenarkan melakukan
shalat untuk menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan bapaknya.
Dengan kata lain, bahwa seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain. Hal yang mungkin dilakukan adalah mensehati dan amar ma’ruf
nahi mungkar.
Hadits-hadits yang menyatakan demikian antara
lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas,
“tidak boleh shalat seseorang untuk orang lain, begitu pula tidak
boleh berpuasa untuk orang lain”. Dan Aisyah berkata, “ janganlah kamu
shalat untuk menggantikan orang yang telah mati, namun beri makanlah kepada
mereka (pahalanya). Kecuali haji yang dibolehkan oleh Imam Malik. Golongan
Asy’ari berpendapat bahwa dibolehkannya menggantikan kewajiban orang lain yang
berhubungan dengan badan adalah berlawanan dengan golongan mu’tazilah, seperti
dibolehkannya melaksanakan haji untuk orang lain. Bahkan golongan Syafi’i,
al-Auja’i, dan Hambali membolehkan wali menggantikan puasa untuk orang yang
sudah meninggal. Diantara alasan mereka
adalah:
وَ مَنْ مَا تَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ
وَلِيُّهُ
Artinya: “siapa yang meninggalkan dunia dan
ia berutang puasa, maka walinya berkewajiban mengerjakan puasa itu. (HR.
Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad Ibn Hanbal).
Ketiga : tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan
dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, dan sebagainya, karena
hal itu diluar kendali manusia.
Misalnya sabda Nabi
SAW:
اَحِبُّوْا اللهَ لِمَا اُسْدِيَ عَلَيْكُمْ
مِنْ نِعَمِهِ
Artinya : “Cintailah Allah karena berbagai
kenikmatan yang diberikannya kepadamu”
Lahiriah hadits tersebut adalah pentaklifkan
cinta, akan tetapi hakekatnya adalah pentaklifan untuk memikirkan pada
kenikmatan-kenikmatan yang diberikan Allah kepada kamu sehingga kamu senantiasa
ingat dan bersyukur kepada Allah.
Dari uraian diatas munkin tergambar bahwa taklif itu hanya berlaku terhadap
apa yang dapat dikerjakan manusia dan tidak akan menimbulkan kesulitan. Namun
semua perbuatan yang dibebankan syara’ selalu menimbulkan kesulitan, sedang
arti taklif itu sendiri mengandung arti kesulitan atau biasa disebut Masyaqqah.
Masyaqqah ada dua macam :
1. Masyaqqah mu’tadah
Masyaqqah mu’tadah adalah, kesulitan yang mampu diatasi
oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya pada dirinya. Kesulitan yang seperti ini
tiidak bisa dijadikan alasan untuk tidak
mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak akan terlepas dari
kesulitan dalam melaksanakannya. Bahkan definisi taklif sendiri adalah
permintaan untuk merealisasikan sesuatu yang didalamnya terdapat kesulitan.
Namun hal ini bukan berarti tujuan syar’i itu mengatasi kesulitan. Tujuan utama
syari’at adalah kemaslahatan dan ketertiban.
Pengharusan
mukallaf untuk memikul kesulitan-kesulitan dalam batas kemampuannya adalah
dalam rangka mencapai kemaslahatan yang timbul daripadanya. Seperti seorang
dokter yang mengharuskan orang sakit meminum obat yang pahit, karena
kesembuhannya yang akan timbul dari memakan obat tersebut. Jadi ia menanggung
kepahitannya adalah dalam rangka kesembuhannya dari penyakitnya.
Shalat,
zakat, puasa, dan segala yang diperintahkan dan dilarang kepada mukallaf adalah
mengandung kesulitan dan keberatan, akan tetapi hal tersebut merupakan
kesulitan yang dapat dipikul dan dalam batas-batas kemampuan. Hal itu merupakan
sarana untuk mencapai suatu kemaslahatan yang harus ditempuhnya untuk
kelangsungan hidupnya.
2. Masyaqqah ghairu mu’tadah
Masyaqqah
ghairu mu’tadah adalah suatu kesulitan atau kesusahan yang diluar kekuasaan
manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya, bila dipaksakan.
Misalnya, melakukan puasa wishal, shalat semalam suntuk, puasa sambil berdiri
dibawah sinar matahari. Kesulitan-kesulitan yang seperti itu bukan termasuk
taklif syara’, karena syara’ selalu berusaha menyingkirkan manusia dari
kesulitan seperti bolehnya berbuka bagi orang yang sakit dan musafir,
dibolehkannya tayammum sebagai ganti wudhu bagi yang sakit dan tidak menemukan
air. Diboehkannya memakan makanan yang diharamkan ketika dalam keadaan darurat,
dan sebagainya. Semua ini memberikan kelonggaran.
Alasan yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih dalam hal ini adalah:
a. Ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang menghilangkan kesulitan dan
kesempitan dalam syara’. Seperti :
Firman Allah pada surat al-Hajj : 78
$tBur..... @yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4 .... ÇÐÑÈ
Artinya : “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan. “(QS. Al-Hajj : 78).
Firman Allah pada surat an-Nisa : 28
ßÌã ª!$# br& y#Ïeÿsä öNä3Ytã 4 t,Î=äzur ß`»|¡RM}$# $ZÿÏè|Ê ÇËÑÈ
Artinya :
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[286], dan manusia dijadikan
bersifat lemah.”(QS. an-Nisa : 28).
Firman Allah pada surat al-Baqarah : 185
...3 ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# ...ÇÊÑÎÈ
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS.
al-Baqarah : 185).
C. Macam–Macam Mahkum Fih
Para ulama’ usul fiqih membagi mahkum fih dari dua segi yaitu:
Dari segi keberadaan secara material dan syara’,
mahkum fih terdiri dari:
1. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang berkait
dengan syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah
perbuatan mukallaf tetapi perbuatan itu tidak terkait demgan hukum syara’.
2. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’,
seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi
sebab adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishash.
3. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
4. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti
nikah, jual beli dan sewa menyewa.
Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu,
yaitu:
1. Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut
kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Hak sifatnya semata-mata Allah ini, menurut Ulama’ Ushul Fiqih ada delapan macam:
a. Ibadah mahdlah (murni), seperti iman dan rukun.
b. Ibadah yang didalamnya mengandung makna pemberian dan santunan, seperti zakat fitrah.
c. Bantuan/satuan yang mengandug makna ibadah, seperti zakat hasil yang
dikeluarkan dari bumi.
d. Biaya/ satuan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi)
yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e. Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana seperti
hukuman berbuat zina.
f. Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi waris, karena ia membunuh pemilik harta tersebut.
g. Hak-hak yang harus dibayarkan, kewajiban mengelurakan seperlima harta
terpemdam dan harta rampasan perang.
2. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti
rugi harta yang rusak.
3. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan. Seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf
4. Kompromi antara hak Allah dam hak hamba, tetap hak hamba didalamnya
lebih dominan, seperti dalam masalah qishash.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang
bersangkutan dengan hukum syar’i. Adapun syarat mahkum fih yaitu Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan
sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan
maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat
misalnya, sebelumnya dia tahu persis
rukun, syarat, dan cara-cara shalat
tersebut.Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui
bahwa tuntutan itu dari allah SWT, sehingga ia melaksanakannya berdasarkan
ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah allah semata. sebenarnya, hal itu
sama dengan hukum yang berlaku yang positif, yakni tidak ada keharusan untuk
mengerjakannya suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Perbuatan
harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan. Adapun macam-macam mahkum
fih terbagi menjadi dua segi yaitu keberadaan secara material dan syara’dan
dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan
Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
Uman, Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia.
Khallaf, Syekh Abdulwahab. 1990. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Muchtar, Kamal dkk. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syekh Abdulwahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 191.