Senin, 02 Mei 2016

jurnal psikologi pendidikan oleh mariya ulfa



TEORI BELAJAR

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu : Ulfa Masamah, S.Pd., M.Pd.
PAI-A Semester Genap
 




Disusun Oleh :
Kelompok  4
1.      M. Danial Hidayat   (1410110008)
2.      Anik Sulaikah                        (1410110021)
3.      Mariya Ulfa                           (1410110032)


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI/A)
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Perkembangan psikologi pada abad 19 sampai memasuki abad 20 mengalami kemajuan pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya aliran-aliran atau teori-teori psikologi yang muncul dengan konsep dan metode tersendiri. Secara pragmatis , teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum, atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Dan untuk lebih memahami dan mengenal masalah belajar, maka akan diuraikan beberapa teori belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli psikologi.
Para ahli psikologi dalma eksperimennya, telah menemukan beberapa teori belajar yang dapat digolongkan menjadi beberapa kategori. Adapun kategori teori belajar yaitu teori konstruktivisme, teori behavioristik, dan teori kognitif namun akan dibahas di pembahasan selanjutnya.
B.   Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud teori konstruktivisme?
2.      Apa saja kelompok teori konstruktivisme?
3.      Apa yang dimaksud teori behavioristik?
4.      Apa saja kelompok teori behavioristik?
5.      Apa yang dimaksud teori kognitif?
6.      Apa saja kelompok teori kognitif?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Teori Konstruktivisme
 Menurut Glasersfeld (1988) pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad 20 dalam tulisan Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Piaget. Namun bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivistik sebenarnya telah dimulai oleh Vico, seorang epistemolog dari Italia.
Meskipun paradigma pembelajaran kontruktivistik telah dikenal sejak tahun 1710, tetapi pada kenyataannya pradigma pembelajaran yang dikembangkan di sekolah lebih didominasi oleh pembelajaran behavioristik. Atas dasar beberapa kajian ternyata model behavioristik memiliki beberapa kelemahan antara lain terlalu mekanistik dan kurang mampu mengembangkan potensi siswa secara optimal. Sehingga sebagai jawaban atas kelemahan tersebut maka diskusi dan kajian model pembelajaran konstruktivistik menjadi makin marak karena dianggap lebih baik daripada model behavioristik dalam mengembangkan potensi siswa.
Pandangan konstruktivistik dilandasi oleh teori Piaget tentang skema, asimilasi, akomodasi, dan equilibration,konsep Zone of Proximal Development (ZPD)dari Vygotsky, teori Bruner tentang discovery learning,teori Ausubel tentang belajar bermakna, dan interaksionisme semiotik.Berikut ini akan dideskripsikan beberapa teori yang melandasi pendekatan konstruktivistik.[1]


B.     Kelompok Teori Konstruktivisme
Teori Belajar yang dikelompokkan ke dalam teori konstruktivisme adalah Teori psikologis atau personal dari piaget dan Teori konstruktivisme sosial dari Lev Vygotsky.
1.      Teori psikologis atau personal dari piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berfikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak.
Piaget adalah seorang psikolog developmental karena penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu.
Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif tetapi kualitatif.
Piaget memakai istilah scheme secara interchangeably, Piaget memakai istilah scheme secara interchangeably dengan istilah struktur. Scheme adalah pola tingkah laku yang dapat diulang. Scheme berhubungan dengan;
a.       Refleks-refleks pembawaan: misalnya bernafas, makan, minum.
b.        Scheme mental: misalnya scheme of classification, scheme of operation (pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap), dan scheme of operation (pola tingkah laku yang dapat diamati).
Menurut Piaget, inteligensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek, yaitu:
1)      Struktur: disebut juga scheme seperti yang dikemukakan di atas.
2)      Isi: disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah.
3)      Fungsi: disebut juga function, yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelektual. Fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam fungsi invariant, yaitu organisasi dan adaptasi.
a)      Organisasi: berupa kecakapan seseorang/ organisme dalam menyusun proses-proses fisik dan psikis dalam bentuk sistem-sistem yang koheren.
b)      Adaptasi: yaitu adaptasi individu terhadap lingkungannya.
Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan intelektual anak mengandung tiga aspek, yaitu structur, content, dan function. Anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur dan konten intelektualnya berubah/ berkembang. Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian perkembangan, masing-masing mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan kecakapan pikir anak. Maka Piaget mengartikan intelegensi adalah sejumlah struktur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus.[2]
2.      Teori konstruktivisme sosial dari Lev Vygotsky.
Teori ini dikemukakan oleh Lev Vygotsky. Teori ini berpendapat bahwa pengetahuan berada dalam konteks sosial, karena ditekankan pentingnya bahasa dakam beljar yang timbul dalam situasi-situasi sosial yang berorentasi pada kativitas ( Eggen dan Kauchak, 997). Menurut Vygotsky, anak-anak hanya dapat belajar dengan cara terlibat langsung dalam aktivitas-aktivitas bermakna dengan orang- orang yang lebih pandai. Strategi- strategi pembelajaran yang didasarkan pada teori Vygotsky ini menempatkan pembelajar dalam situasi di mana bahan pembelajaran yang diberikan berada dalam jangkauan perkembangan mereka. Berkaitan dengan ini, Vygotsky mengemukakan konsep yang disebut Zone  of Proximal Development (ZPD).
ZPD adalah level kecakapan melebihi apa yang dapat dilakukan sendiri oleh anak didik dan menunjukan rentang tugas beljar yang dapat dikerjakan jika dibantu oleh orang dewasa atau teman sebaya yang berkompeten. Zona tersebut menunjukan melebihi yang dapat dilakukan sendiri oleh anak didik secara produktif.
Menurut Eggen dan Kauchak (  1997), penerapan ZPD dalam pembelajaran mencakup tiga tugas yaitu 1. Pengukuran. 2 pemilihan aktivitas belajar, dan 3 pemberiab dukungan pembelajaran untuk membantu siswa melalui zonanya secara berhasil.
Teori Vygotsky memiliki empat implikasi pendidikan yang utama ( Byrnes, 1996, yaitu:
a.       Guru harus bertindak sebgai scaffold yang memberikan bimbingan yang cukup untuk membantu anak-anak mencapai kemajuan
b.      Pembelajaran harus selalu berupaya ‘ memperceat’ level penguasaan terkini anak
c.       Anak-anak perlu berulabg-ulang dihadapkan konsep-konsep ilmiah agar konsep spontan mereka menjadi lebih akuarat dan umum.[3]
C.    Pengertian Teori Behavioristik
Seperti yang telah disebutkan, paradigma behavioristik menekankan proses belajar, sebagai perubahan relatif permanen pada perilaku yang dapat diamati dan timbul sebagai hasil pengalaman.
Ada banyak teori belajar yang termasuk dalam paradigma behavioristik. Tiga diantaranya yang terkenal adalah teori Connectionis dari Thorndike, teori Classical Conditioning dari Pavlov dan teori Operant Conditioning dari Skinner.
D.    Kelompok Teori Behavioristik
Beberapa teori belajar dari psikologi behavioristik dikemukakan oleh para psikolog behavioristik. Mereka ini sering disebut “contemporary behavioristik” atau juga disebut “S-R psychologists”. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Teori belajar yang dikelompokkan kedalam teori behavioristi adalah Teori koneksioisme dengan tokohnya Edward lee thorndike, Teori classical conditioning dengan tokohnya pavlop dan Teori operant conditioning dengan tokohnya skinner.
1.      Teori koneksioisme dengan tokohnya Edward lee thorndike
Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi oleh pengaruh dari Thorndike (1874-1949). Teori belajar, Thorndike disebut “connectionism”, karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering pula disebut “trial-and error learning” individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses “trial-and-error” dalam rangka memilih respon yang tepat bagi stimulus tertentu.

Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku berbagai binatang antara lain kucing, tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.
Ciri-ciri belajar dengan “trial-and-error” yaitu:
a.       Ada motif pendorong aktivitas
b.      Ada berbagai respon terhadap situasi
c.       Ada eliminasi respon-respon yang gagal/ salah dan
d.      Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan. Dari penelitian itu, Thorndike menemukan hukum-hukum:
1)      “Lau of readiness”; jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan.
2)      “Lau of exercise”; makin banyak dipraktekkan atau digunakannya hubungan stimulus respon, makin kuat hubungan itu. Praktek perlu disertai “reward”.
3)      Lau of effect”; belaman terjadi hubungan antara stimulus dan respon, dan dibarengi dengan “state of affairs” yang memuaskan, maka hubungan itu menjadi lebih kuat.[4]
Jika sebuah respons menghasilkan efek yang menyenangkan, hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat.Meski Thordike telah berupaya semkasimal mungkin untuk menyusun teorinya, namun kelemahan-kelemahan teori ini tetap ada. Diantaranya, teori ini tidak membahas bagaimana siswa mengatur diri mereka dalam belajar akan tetapi lebih ada bagaimana guru mengatur belajar siswa.[5]
Contoh teori koeksionisme seperti seekor kucing yang lapar di tempatkan dalam sangkar berbentuk kotak beruji yang dilengkapi dengan peralatan, misal pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Alat ini di tata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi. Keadaan tersebut merupakan stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diridan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing mengeong, mencakar, berlari, melompat namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan, akhirnya, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan membuka pintu sangkar. Berdasarkan eksperimen tersebut, thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons.[6]

2.      Teori classical conditioning dengan tokohnya pavlop
Teori Classical Conitioning berkembang berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov ( 1849-1936). Dalam eksperimennya, Palvov mengunakan anjing untuk mengetahui bagaimana refleks bersyarat terbentuk adanya hubungan antara Conditioned Stimulus ( CS), unconditionef stimulus ( UCS), dan conditions respons ( CR).
Masalah selanjutnya yang diteliti oleh Pavlov  ialah apakah refleks bersyarat yag telah dibentuk itu dapay dihilangkan. Setelah melakukan  serangkaian ekasperimen, akhirnya ia berkesimpulan bahwa refleks bersyarat yang telah terbentuk itu dapat dihilangkan.
a.       Refleks bersyarat yang telah terbentuk itu dapat hilang karena stimulus yang mengganggu ( hilang untuk sementara), dan
b.      Refleks bersyarat itu dapat dihilangkan dengan proses penyaratan kembali ( reconditioning).[7]
Sementara Thordike mengadakan penelitiannya di Rusia Ivan Pavlov (1849-1936) juga menghasilkan teori belajar yang disebut “classical conditioning” atau “stimulus subsitution”.
John B. Watson (1878-1958) adalah orang pertama di Amerika Serikat yang mengembangkan teori belajar berdasarkan hasil penelitian Pavlov. Watson berpendapat, bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respons-respons bersyarat melalui stimulus pengganti. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta, dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan stimulus-respon baru melalui “conditioning”.
E.R. Guthrte (1886-1959) memperluas penemuan Watson tentang belajar. Ia mengemukakan psinsip belajar yang disebut “the law of association” yang berbunyi: suatu kombinasi stimuli yang telah menyertai suatu gerakan, cenderung akan menimbulkan gerakan itu, apabila kombinasi stimuli itu muncul kembali. Dengan kata lain, jika anda mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka nantinya dalam situasi yang sama Anda akan mengerjakan hal serupa lagi.[8]
3.      Teori operant conditioning dengan tokohnya skinner
Teori ini dikemukakan olah BF. Skinner pada taun 1930-an. Berbeda dengan kedua tokoh behaviorsme sebelumnya yang lebih menekankan pada respondent response ( reflexise response) yang timbul karena stimuls tertentu, Skinner lebih menekakan pada operant respone (instrumenal respone) yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh stimulus tertentu. Dinamakan operant conditioning diikuti oleh stimulus tertentu. Dinamakan operant conditioning karena respons bereaksi terhadap lingkungan sebagai efek yang dotimbulkan ooleh reinforcer. Menurut Skinner sebagian besar perilaku manusia adalah berupa resons atau jenis perilaku operant.
Menurut Skinner, perilaku terbentuk oleh konsekuensi yang ditimbulkannya. Konsekuensi yang menyenangkan (positive reinforcement atau reward) akan membuat perilaku yang sama akan diulangi lagi, sebaliknya konsekuensi yang tidak menyenangkan (negative reinforcement atau punishment) akan membuat perilaku dihindari.
Teori operant conditioning ini sangat besar pengaruhnya di Amerika Serikat, terutama konsep behavior modification yang bersumber dari teori ini sangat populer dikalangan tertentu. Di kalangan pendidik beberapa program inovatif dalam bidang pembelajaran disusun berdasarkan atas teori Skinner.
Akan tetapi,teori behavioristik banyak dikritik karena memlilki beberpa kelemahan dan sulit diaplikasikan pada proses beljar manusia. Beberapa kritik yang dimunculkan.
a.       Teori behavioristik sering kali tidak mampu menjelaskan situasi beljar yang kompleks sebab bnayak variabel atau hal-hal yang kompleks, sebab banyak variabel atau  hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respons. Teori ini juga tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respons.
b.      Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi dan berfikir pembelajaran, walaupun mereka memeliki pengalaman penguatan yang sama.
c.       Teori behavioristik juga cederung mengarahkan pembelajar untuk berfikir linier,  onvergen, tidak kreatif dan tidak produktif.
d.      Meski banyak mengandung kelemahan, banyak teori dalam paradigma behavioristik memiliki pengaruh yang besar terhadap arah pengembangan  teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini. Beberapa implikasi teori-teori behavioristik dalam pendidikan dan pebelajaran diantaranya adalah:
1)      Tujuan pembelajaran ditekankan pada penambahan pegetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic” yang menuntut pembelajaran untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
2)      Peran pendidikan biasanya merencanakan kurikulum dengan  menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan sesuatu ketrampilam tertentu yang harus dicapai oleh ara pembelajar. Kemudian, bagian-baan tersebut disusun hierarki, dari yang sederhana sampai yang kompleks.
3)      Proses belajar memandang bahwa pengetauan adalah objektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga mengajar adalah memindahkan pengetahuan (trasfer of knowledge) ke orang yang belajaratau pembelajar.[9]
E.     Pengertian Teori Kognitif
Berbeda dengan teori-teori  belajar dalam paradigma behavioristik yang menjelaskan belajar sebagai perubahan perilaku yang dapat diamati yang timbul sebagai hasil pengamatan, teori belajar kognitif menjelaskan belajar dengan berfokus pada perubahan-perubahan proses mental internal yang digunakan dalam upaya memahami dunia eksternal.
Dari perspektif kognitif, belajar adalah perubahan dalam strukur mental seseorang yang memberikan kapasitas untuk menujukan perubahan perilaku. Adapun Ciri-ciri teori belajar kognitif adalah
1.      Mementingkan apa yang ada pada diri siswa
2.      Mementingkan keseluruhan
3.      Mementingkan peranan fungsi kognitif
4.      Mementingkan keseimbangan dalam diri siswa
5.      Mementingkan kondisi yang ada pada waktu hal sekarang
6.      Mementingkan pembentukan struktur kognitif
7.      Dalam pemecahan masalah, memiliki cirri khas yaitu insight.[10]
F.     Kelompok Teori Kognitif
Ada beberapa ahli yang belum puas dengan penemuan-penemuann para ahli sebelumnya mengenai belajar sebagai proses hubungan stimulus-response-reinforcement.mereka berpendapat bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh reward dan reinforcement. Teori belajar yang dikelompokkan ke dalam teori kognitif adalah teori Cognitive Field Information-Processing Theory.
a.       Teori Cognitive Field
Teori  ini dekemukakan oleh Kurt Lewin ( 1892-1947). Menurutnya, masing-masing individu berada dalam medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan di mana indvidu bereakaksi disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnnya: orang-orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi, serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur mrdan kognsi itu sendiri, Yang lainnya dari kebutuhan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward. Lewin juga lebih setuju dengan penggunaan istilah sukses dan gagal dari pada reward dan punishment.
b.      Teori Schema
Teori Schema mengemukakan keberadaan struktur pengetahuan yang disebut dengan scema atau schemata yang memiliki dua bentuk, yaitu: berbentuk objek dan berbentuk kejadian. Bentuk yang terakhir secara umum disebut script.
Scema  dibentuk melalui sebuah proses abstraksi. Scema yang sudah terbentuk akan mempengaruhi apa yang  di ingat tentang sebuah pengalaman melalui tiga proses, yaitu seleksi, pengambilan intisari, dan interpretasi. Schema juga dapat diubah atau dimodifikasi dengan tiga proses, yiatu: penambahan, penyusunan dan restruksi.[11]







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Teori belajar muncul dengan bebagai aliran. Dari mulai macam-macam teori belajar sampai pengelompokkan teori belajar tersebut dengan para tokohnya. Seperti Teori Belajar yang dikelompokkan ke dalam teori konstruktivisme adalah Teori psikologis atau personal dari piaget dan Teori konstruktivisme sosial dari Lev Vygotsky. Teori belajar yang dikelompokkan kedalam teori behavioristi adalah Teori koneksioisme dengan tokohnya Edward lee thorndike, Teori classical conditioning dengan tokohnya pavlop dan Teori operant conditioning dengan tokohnya skinner. Teori belajar yang dikelompokkan ke dalam teori kognitif adalah teori Cognitive Field Information-Processing Theory.












DAFTAR PUSTAKA

Haryanto. Teori yang melandasi pembelajaran konstruktivistik dalam http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131656343/TEORI%20KONSTRUKTIVISTIK.pdf pada hari senin pukul 21.35 Wib tanggal 29 Pebruari 2016.
Islamuddin, Haryu. 2014. Psikologi Pendidikan. Jember: Stain Jember Press.
Khodijah, Nyayu. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin. 2008. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


[1] Haryanto, Teori yang melandasi pembelajaran konstruktivistik, pdf, dalam http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131656343/TEORI%20KONSTRUKTIVISTIK.pdf pada hari senin pukul 21.35 Wib tanggal 29 Pebruari 2016.
[2] Wasty Soemanto, Psikologi Kepribadian, (Jakarta: PT Rineka Cipta,1998), hlm. 130-132.  
[3]  Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 83-86.
[4]  Wasty Soemanto, Psikologi Kepribadian, hlm. 123-124.
[5]  Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, hlm. 65-67.
[6] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2008), hlm. 105.
[7] Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, hlm. 68-69.
[8] Wasty Soemanto, Psikologi Kepribadian, hlm. 125.
[9] Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, hlm. 69-74.
[10] Haryu Islamuddin, Psikologi Pendidikan,(Jember: Stain Jember Press,2014), hlm. 64.
[11]  Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, hlm. 77-78.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar