TEORI
BELAJAR
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu :
Ulfa Masamah, S.Pd., M.Pd.
PAI-A Semester Genap
Disusun Oleh :
Kelompok 4
1.
M.
Danial Hidayat (1410110008)
2.
Anik
Sulaikah (1410110021)
3.
Mariya
Ulfa (1410110032)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(PAI/A)
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN AKADEMIK
2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perkembangan psikologi pada abad 19 sampai memasuki
abad 20 mengalami kemajuan pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya
aliran-aliran atau teori-teori psikologi yang muncul dengan konsep dan metode tersendiri. Secara pragmatis , teori
belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum, atau kumpulan prinsip yang saling
berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang
berkaitan dengan peristiwa belajar. Dan untuk lebih memahami dan mengenal
masalah belajar, maka akan diuraikan beberapa teori belajar yang telah
dikemukakan oleh para ahli psikologi.
Para
ahli psikologi dalma eksperimennya, telah menemukan beberapa teori belajar yang
dapat digolongkan menjadi beberapa kategori. Adapun kategori teori belajar yaitu
teori konstruktivisme, teori behavioristik, dan teori kognitif namun akan
dibahas di pembahasan selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud teori konstruktivisme?
2.
Apa saja kelompok teori konstruktivisme?
3.
Apa yang dimaksud teori behavioristik?
4.
Apa saja kelompok teori behavioristik?
5.
Apa yang dimaksud teori kognitif?
6.
Apa saja kelompok teori kognitif?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori
Konstruktivisme
Menurut Glasersfeld (1988) pengertian konstruktif
kognitif muncul pada abad 20 dalam tulisan Baldwin yang secara luas diperdalam
dan disebarkan oleh Piaget. Namun bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok
konstruktivistik sebenarnya telah dimulai oleh Vico, seorang epistemolog dari
Italia.
Meskipun paradigma
pembelajaran kontruktivistik telah dikenal sejak tahun 1710, tetapi pada
kenyataannya pradigma pembelajaran yang dikembangkan di sekolah lebih didominasi
oleh pembelajaran behavioristik. Atas dasar beberapa kajian ternyata model
behavioristik memiliki beberapa kelemahan antara lain terlalu mekanistik dan
kurang mampu mengembangkan potensi siswa secara optimal. Sehingga sebagai
jawaban atas kelemahan tersebut maka diskusi dan kajian model pembelajaran
konstruktivistik menjadi makin marak karena dianggap lebih baik daripada model
behavioristik dalam mengembangkan potensi siswa.
Pandangan
konstruktivistik dilandasi oleh teori Piaget tentang skema, asimilasi,
akomodasi, dan equilibration,konsep Zone of Proximal Development (ZPD)dari
Vygotsky, teori Bruner tentang discovery learning,teori Ausubel tentang belajar
bermakna, dan interaksionisme semiotik.Berikut ini akan dideskripsikan beberapa
teori yang melandasi pendekatan konstruktivistik.[1]
B.
Kelompok Teori Konstruktivisme
Teori Belajar yang
dikelompokkan ke dalam teori konstruktivisme adalah Teori psikologis atau
personal dari piaget dan Teori konstruktivisme sosial dari Lev Vygotsky.
1.
Teori psikologis atau personal dari piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa
proses berfikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret
menuju abstrak.
Piaget adalah seorang psikolog developmental karena
penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur
yang mempengaruhi kemampuan belajar individu.
Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan
kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan
intelektual adalah tidak kuantitatif tetapi kualitatif.
Piaget memakai istilah scheme secara interchangeably,
Piaget memakai istilah scheme secara interchangeably dengan istilah struktur.
Scheme adalah pola tingkah laku yang dapat diulang. Scheme
berhubungan
dengan;
a. Refleks-refleks
pembawaan: misalnya bernafas, makan, minum.
b.
Scheme mental:
misalnya scheme of classification, scheme of operation (pola tingkah laku yang
masih sukar diamati seperti sikap), dan scheme of operation (pola tingkah laku
yang dapat diamati).
Menurut Piaget, inteligensi itu sendiri
terdiri dari tiga aspek, yaitu:
1) Struktur:
disebut juga scheme seperti yang dikemukakan di atas.
2) Isi:
disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu
menghadapi sesuatu masalah.
3) Fungsi:
disebut juga function, yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan
intelektual. Fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam fungsi invariant,
yaitu organisasi dan adaptasi.
a) Organisasi: berupa kecakapan
seseorang/ organisme dalam menyusun proses-proses fisik dan psikis dalam bentuk
sistem-sistem yang koheren.
b) Adaptasi: yaitu adaptasi individu
terhadap lingkungannya.
Jadi,
secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan intelektual anak mengandung
tiga aspek, yaitu structur, content, dan function. Anak yang sedang mengalami
perkembangan, struktur dan konten intelektualnya berubah/ berkembang. Fungsi
dan adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian perkembangan,
masing-masing mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan kecakapan
pikir anak. Maka Piaget mengartikan intelegensi adalah sejumlah struktur
psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus.[2]
2.
Teori konstruktivisme sosial dari Lev Vygotsky.
Teori
ini dikemukakan oleh Lev Vygotsky. Teori ini berpendapat bahwa pengetahuan
berada dalam konteks sosial, karena ditekankan pentingnya bahasa dakam beljar
yang timbul dalam situasi-situasi sosial yang berorentasi pada kativitas (
Eggen dan Kauchak, 997). Menurut Vygotsky, anak-anak hanya dapat belajar dengan
cara terlibat langsung dalam aktivitas-aktivitas bermakna dengan orang- orang
yang lebih pandai. Strategi- strategi pembelajaran yang didasarkan pada teori Vygotsky ini menempatkan
pembelajar dalam situasi di mana bahan pembelajaran yang diberikan berada dalam jangkauan perkembangan mereka.
Berkaitan dengan ini, Vygotsky mengemukakan konsep yang disebut Zone
of Proximal Development (ZPD).
ZPD adalah level kecakapan melebihi apa yang dapat
dilakukan sendiri oleh anak didik dan menunjukan rentang tugas beljar yang
dapat dikerjakan jika dibantu oleh orang dewasa atau teman sebaya yang
berkompeten. Zona tersebut menunjukan melebihi yang dapat
dilakukan sendiri oleh anak didik secara produktif.
Menurut
Eggen dan Kauchak ( 1997), penerapan ZPD
dalam pembelajaran mencakup tiga tugas yaitu 1. Pengukuran. 2 pemilihan
aktivitas belajar, dan 3 pemberiab dukungan pembelajaran untuk membantu siswa
melalui zonanya secara berhasil.
Teori
Vygotsky memiliki empat implikasi pendidikan yang utama ( Byrnes, 1996, yaitu:
a. Guru
harus bertindak sebgai scaffold yang memberikan bimbingan yang cukup untuk
membantu anak-anak mencapai kemajuan
b. Pembelajaran
harus selalu berupaya ‘ memperceat’ level penguasaan terkini anak
c. Anak-anak
perlu berulabg-ulang dihadapkan konsep-konsep ilmiah agar konsep spontan mereka
menjadi lebih akuarat dan umum.[3]
C.
Pengertian Teori Behavioristik
Seperti yang telah
disebutkan, paradigma behavioristik menekankan proses belajar, sebagai
perubahan relatif permanen pada perilaku yang dapat diamati dan timbul sebagai
hasil pengalaman.
Ada banyak teori
belajar yang termasuk dalam paradigma behavioristik. Tiga diantaranya yang
terkenal adalah teori Connectionis dari Thorndike, teori Classical Conditioning
dari Pavlov dan teori Operant Conditioning dari Skinner.
D.
Kelompok Teori Behavioristik
Beberapa
teori belajar dari psikologi behavioristik dikemukakan oleh para psikolog
behavioristik. Mereka ini sering disebut “contemporary behavioristik” atau
juga disebut “S-R psychologists”. Mereka berpendapat bahwa
tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau
penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Teori belajar yang dikelompokkan kedalam teori
behavioristi adalah Teori koneksioisme dengan tokohnya
Edward lee thorndike, Teori classical conditioning dengan tokohnya pavlop dan
Teori operant conditioning dengan tokohnya skinner.
1.
Teori
koneksioisme dengan tokohnya Edward lee thorndike
Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika
Serikat didominasi oleh pengaruh dari Thorndike (1874-1949). Teori belajar,
Thorndike disebut “connectionism”, karena belajar merupakan proses pembentukan
koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering pula disebut
“trial-and error learning” individu yang belajar melakukan kegiatan melalui
proses “trial-and-error” dalam rangka memilih respon yang tepat
bagi stimulus tertentu.
Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil
penelitiannya terhadap tingkah laku berbagai binatang antara lain kucing,
tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.
Ciri-ciri belajar dengan “trial-and-error” yaitu:
a.
Ada motif
pendorong aktivitas
b.
Ada berbagai
respon terhadap situasi
c.
Ada eliminasi
respon-respon yang gagal/ salah dan
d.
Ada kemajuan
reaksi-reaksi mencapai tujuan. Dari penelitian itu, Thorndike menemukan
hukum-hukum:
1)
“Lau of
readiness”; jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh
kesiapan untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan.
2)
“Lau of exercise”;
makin banyak dipraktekkan atau digunakannya hubungan stimulus respon, makin
kuat hubungan itu. Praktek perlu disertai “reward”.
3)
“Lau of
effect”; belaman terjadi hubungan antara stimulus dan respon, dan dibarengi
dengan “state of affairs” yang memuaskan, maka hubungan itu menjadi lebih kuat.[4]
Jika sebuah respons menghasilkan efek yang menyenangkan,
hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat.Meski Thordike telah
berupaya semkasimal mungkin untuk menyusun teorinya, namun kelemahan-kelemahan
teori ini tetap ada. Diantaranya, teori ini tidak membahas bagaimana siswa
mengatur diri mereka dalam belajar akan tetapi lebih ada bagaimana guru mengatur belajar siswa.[5]
Contoh
teori koeksionisme seperti seekor kucing yang lapar di tempatkan dalam sangkar
berbentuk kotak beruji yang dilengkapi dengan peralatan, misal pengungkit,
gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel
tersebut. Alat ini di tata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing
tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi. Keadaan
tersebut merupakan stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan
diridan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing mengeong,
mencakar, berlari, melompat namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan,
akhirnya, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan membuka
pintu sangkar. Berdasarkan eksperimen tersebut, thorndike berkesimpulan bahwa
belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons.[6]
2.
Teori classical
conditioning dengan tokohnya pavlop
Teori
Classical Conitioning berkembang berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh
Ivan Pavlov ( 1849-1936). Dalam eksperimennya, Palvov mengunakan anjing untuk
mengetahui bagaimana refleks bersyarat terbentuk adanya hubungan antara
Conditioned Stimulus ( CS), unconditionef stimulus ( UCS), dan conditions
respons ( CR).
Masalah
selanjutnya yang diteliti oleh Pavlov
ialah apakah refleks bersyarat yag telah dibentuk itu dapay dihilangkan.
Setelah melakukan serangkaian
ekasperimen, akhirnya ia berkesimpulan bahwa refleks bersyarat yang telah
terbentuk itu dapat dihilangkan.
a. Refleks
bersyarat yang telah terbentuk itu dapat hilang karena stimulus yang mengganggu
( hilang untuk sementara), dan
Sementara
Thordike mengadakan penelitiannya di Rusia Ivan Pavlov (1849-1936) juga
menghasilkan teori belajar yang disebut “classical conditioning” atau “stimulus
subsitution”.
John
B. Watson (1878-1958) adalah orang pertama di Amerika Serikat yang
mengembangkan teori belajar berdasarkan hasil penelitian Pavlov. Watson
berpendapat, bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau
respons-respons bersyarat melalui stimulus pengganti. Menurut Watson, manusia
dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut,
cinta, dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan
stimulus-respon baru melalui “conditioning”.
E.R.
Guthrte (1886-1959) memperluas penemuan Watson tentang belajar. Ia mengemukakan
psinsip belajar yang disebut “the law of association” yang berbunyi: suatu
kombinasi stimuli yang telah menyertai suatu gerakan, cenderung akan
menimbulkan gerakan itu, apabila kombinasi stimuli itu muncul kembali. Dengan
kata lain, jika anda mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka nantinya
dalam situasi yang sama Anda akan mengerjakan hal serupa lagi.[8]
3.
Teori operant
conditioning dengan tokohnya skinner
Teori
ini dikemukakan olah BF. Skinner pada taun 1930-an. Berbeda dengan kedua tokoh
behaviorsme sebelumnya yang lebih menekankan pada respondent response (
reflexise response) yang timbul karena stimuls tertentu, Skinner lebih menekakan
pada operant respone (instrumenal respone) yang timbul dan berkembangnya
diikuti oleh stimulus tertentu. Dinamakan operant conditioning diikuti oleh
stimulus tertentu. Dinamakan operant conditioning karena respons bereaksi
terhadap lingkungan sebagai efek yang dotimbulkan ooleh reinforcer. Menurut
Skinner sebagian besar perilaku manusia adalah berupa resons atau jenis
perilaku operant.
Menurut
Skinner, perilaku terbentuk oleh konsekuensi yang ditimbulkannya. Konsekuensi
yang menyenangkan (positive reinforcement atau reward) akan membuat perilaku
yang sama akan diulangi lagi, sebaliknya konsekuensi yang tidak menyenangkan (negative
reinforcement atau punishment) akan membuat perilaku dihindari.
Teori
operant conditioning ini sangat besar pengaruhnya di Amerika Serikat, terutama
konsep behavior modification yang bersumber dari teori ini sangat populer
dikalangan tertentu. Di kalangan pendidik beberapa program inovatif dalam
bidang pembelajaran disusun berdasarkan atas teori Skinner.
Akan
tetapi,teori behavioristik banyak dikritik karena memlilki beberpa kelemahan
dan sulit diaplikasikan pada proses beljar manusia. Beberapa kritik yang
dimunculkan.
a. Teori
behavioristik sering kali tidak mampu menjelaskan situasi beljar yang kompleks
sebab bnayak variabel atau hal-hal yang kompleks, sebab banyak variabel
atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan
stimulus dan respons. Teori ini juga tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respons.
b. Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi dan
berfikir pembelajaran, walaupun mereka memeliki pengalaman penguatan yang sama.
c. Teori
behavioristik juga cederung mengarahkan pembelajar untuk berfikir linier, onvergen, tidak kreatif dan tidak produktif.
d. Meski
banyak mengandung kelemahan, banyak teori dalam paradigma behavioristik memiliki
pengaruh yang besar terhadap arah pengembangan
teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini. Beberapa
implikasi teori-teori behavioristik dalam pendidikan dan pebelajaran
diantaranya adalah:
1) Tujuan pembelajaran
ditekankan pada penambahan pegetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”
yang menuntut pembelajaran untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.
2)
Peran pendidikan biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi
bagian-bagian kecil yang ditandai dengan sesuatu ketrampilam tertentu yang
harus dicapai oleh ara pembelajar. Kemudian, bagian-baan tersebut disusun
hierarki, dari yang sederhana sampai yang kompleks.
3) Proses belajar memandang bahwa pengetauan adalah objektif, pasti,
tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga
mengajar adalah memindahkan pengetahuan (trasfer of knowledge) ke orang yang
belajaratau pembelajar.[9]
E. Pengertian Teori
Kognitif
Berbeda dengan
teori-teori belajar dalam paradigma behavioristik yang menjelaskan
belajar sebagai perubahan perilaku yang dapat diamati yang timbul sebagai hasil
pengamatan, teori belajar kognitif menjelaskan belajar dengan berfokus pada perubahan-perubahan proses mental internal yang
digunakan dalam upaya memahami dunia eksternal.
Dari perspektif
kognitif, belajar adalah perubahan dalam strukur mental seseorang yang memberikan kapasitas untuk menujukan perubahan perilaku. Adapun Ciri-ciri teori
belajar kognitif adalah
1.
Mementingkan apa yang ada pada diri siswa
2.
Mementingkan keseluruhan
3.
Mementingkan peranan fungsi kognitif
4.
Mementingkan keseimbangan dalam diri siswa
5.
Mementingkan kondisi yang ada pada waktu hal sekarang
6.
Mementingkan pembentukan struktur kognitif
7.
Dalam pemecahan masalah, memiliki cirri khas yaitu
insight.[10]
F.
Kelompok Teori Kognitif
Ada beberapa ahli
yang belum puas dengan penemuan-penemuann para ahli sebelumnya mengenai belajar
sebagai proses hubungan stimulus-response-reinforcement.mereka
berpendapat bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh reward dan
reinforcement. Teori belajar yang dikelompokkan ke dalam teori kognitif adalah teori
Cognitive Field Information-Processing Theory.
a. Teori
Cognitive Field
Teori ini
dekemukakan oleh Kurt Lewin ( 1892-1947). Menurutnya, masing-masing individu
berada dalam medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan di mana indvidu
bereakaksi disebut life space. Life space mencakup perwujudan
lingkungan dimana individu bereaksi, misalnnya: orang-orang yang dijumpainya,
objek material yang ia hadapi, serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi
menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur
kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan,
satu dari struktur mrdan kognsi itu sendiri, Yang lainnya dari kebutuhan
motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada
motivasi dari reward. Lewin juga lebih setuju dengan penggunaan istilah sukses
dan gagal dari pada reward dan punishment.
b. Teori
Schema
Teori Schema mengemukakan keberadaan
struktur pengetahuan yang disebut dengan scema atau schemata yang memiliki dua
bentuk, yaitu: berbentuk objek dan berbentuk kejadian. Bentuk yang terakhir
secara umum disebut script.
Scema dibentuk melalui
sebuah proses abstraksi. Scema yang sudah terbentuk akan mempengaruhi apa yang di ingat tentang sebuah pengalaman melalui
tiga proses, yaitu seleksi, pengambilan intisari, dan interpretasi. Schema juga
dapat diubah atau dimodifikasi dengan tiga proses, yiatu: penambahan,
penyusunan dan restruksi.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori belajar muncul dengan bebagai aliran. Dari
mulai macam-macam teori belajar sampai pengelompokkan teori belajar tersebut
dengan para tokohnya. Seperti Teori
Belajar yang dikelompokkan ke dalam teori konstruktivisme adalah Teori
psikologis atau personal dari piaget dan Teori konstruktivisme sosial dari Lev
Vygotsky. Teori belajar yang dikelompokkan kedalam teori behavioristi adalah Teori
koneksioisme dengan tokohnya Edward lee thorndike, Teori classical conditioning
dengan tokohnya pavlop dan Teori operant conditioning dengan tokohnya skinner. Teori belajar yang dikelompokkan ke dalam teori kognitif
adalah teori
Cognitive Field Information-Processing Theory.
DAFTAR PUSTAKA
Haryanto. Teori yang melandasi pembelajaran konstruktivistik dalam http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131656343/TEORI%20KONSTRUKTIVISTIK.pdf pada hari senin
pukul 21.35 Wib tanggal 29 Pebruari 2016.
Islamuddin, Haryu. 2014. Psikologi Pendidikan. Jember: Stain Jember Press.
Khodijah, Nyayu.
2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin.
2008. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
[1] Haryanto, Teori yang melandasi pembelajaran
konstruktivistik, pdf, dalam http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131656343/TEORI%20KONSTRUKTIVISTIK.pdf pada hari senin
pukul 21.35 Wib tanggal 29 Pebruari 2016.
[3] Nyayu Khodijah, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 83-86.
[4] Wasty
Soemanto, Psikologi Kepribadian, hlm. 123-124.
[5] Nyayu Khodijah, Psikologi
Pendidikan, hlm. 65-67.
[6] Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2008), hlm. 105.
[7] Nyayu Khodijah, Psikologi
Pendidikan, hlm. 68-69.
[8] Wasty Soemanto, Psikologi Kepribadian, hlm.
125.
[9] Nyayu Khodijah, Psikologi
Pendidikan, hlm. 69-74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar